SEKITAR BIMBINGAN KONSELING
Oleh : Eni Suryanita, M. Pd.
Dikutip dari : Sofyan S. Willis : Dosen Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP-UPI Bandung dan berbagai sumber lain.
Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling
Djumhur dan Moh. Surya, (1975), berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat. Sementara Pepinsky 7 Pepinsky ,dalan Shertzer & Stone,1974, mengemukakan; konseling merupakan interaksi yang(a)terjadi antara dua orang individu ,masing-masing disebut konselor dan klien ;(b)terjadi dalam suasana yang profesional (c)dilakukan dan dijaga sebagai alat untuk memudah kan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien. Bimbingan Konseling merupakan upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual).
Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri.
Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti disebutkan, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli beserta berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan menghasilkan konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.
Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor dengan para personal Sekolah/ Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua konseli, dan pihak-pihak ter-kait lainnya (seperti instansi pemerintah/swasta dan para ahli : psikolog dan dokter). Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upaya membantu para konseli agar dapat mengem-bangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.
Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang meliputi aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi konseli sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual).
Prosedur Umum Layanan Bimbingan dan Konseling
Sebagai sebuah layanan profesional, layanan bimbingan dan konseling tidak dapat dilakukan secara sembarangan, namun harus dilakukan secara tertib berdasarkan prosedur tertentu, yang secara umum terdiri dari enam tahapan sebagai, yaitu: (A) Identifikasi kasus; (B) Identifikasi masalah; (C) Diagnosis; (D) Prognosis; (E) Treatment; (F) Evaluasi dan Tindak Lanjut
A. Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan langkah awal untuk menemukan peserta didik yang diduga memerlukan layanan bimbingan dan konseling. Robinson (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi peserta didik yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan dan konseling, yakni :
- Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua peserta didik secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan layanan konseling.
- Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru pembimbing dengan peserta didik. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
- Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran peserta didik akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan peserta didik yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
- Melakukan analisis terhadap hasil belajar peserta didik, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi peserta didik.
- Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan peserta didik yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial.
B. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan peserta didik dapat berkenaan dengan aspek : (1) substansial – material; (2) struktural – fungsional; (3) behavioral; dan atau (4) personality.
Untuk mengidentifikasi kasus dan masalah peserta didik, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah peserta didik, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk menemukan kasus dan mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi peserta didik, seputar aspek : (1) jasmani dan kesehatan; (2) diri pribadi; (3) hubungan sosial; (4) ekonomi dan keuangan; (5) karier dan pekerjaan; (6) pendidikan dan pelajaran; (7) agama, nilai dan moral; ( hubungan muda-mudi; (9) keadaan dan hubungan keluarga; dan (10) waktu senggang.
C. Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor penyebab kegagalan belajar peserta didik, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar peserta didik, yaitu : (1) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (2) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
D. Prognosis
Langkah ini dilakukan untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami peserta didik masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang dihadapi siswa untuk diminta bekerja sama guna membantu menangani kasus - kasus yang dihadapi.
E. Treatment
Langkah ini merupakan upaya untuk melaksanakan perbaikan atau penyembuhan atas masalah yang dihadapi klien, berdasarkan pada keputusan yang diambil dalam langkah prognosis. Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru pembimbing atau konselor, maka pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri (intervensi langsung), melalui berbagai pendekatan layanan yang tersedia, baik yang bersifat direktif, non direktif maupun eklektik yang mengkombinasikan kedua pendekatan tersebut.
Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing/konselor sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten (referal atau alih tangan kasus).
F. Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya tetap dilakukan untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Depdiknas (2003) telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling yaitu:
- Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh peserta didik berkaitan dengan masalah yang dibahas;
- Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
- Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh peserta didik sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2004) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yang terbagi ke dalam kriteria yaitu kriteria keberhasilan yang tampak segera dan kriteria jangka panjang.
Kriteria keberhasilan tampak segera, diantaranya apabila:
- Peserta didik (klien) telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
- Peserta didik (klien) telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
- Peserta didik (klien) telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
- Peserta didik (klien) telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
- Peserta didik (klien) telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
- Peserta didik (klien) telah melai menunjukkan sikap keterbukaannya serta mau memahami dan menerima kenyataan lingkungannya secara obyektif.
- Peserta didik (klien) mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
- Peserta didik (klien) telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya.
- Sedangkan kriteria keberhasilan jangka panjang, diantaranya apabila:
- Peserta didik (klien) telah menunjukkan kepuasan dan kebahagiaan dalam kehidupannya yang dihasilkan oleh tindakan dan usaha-usahanya.
- Peserta didik (klien) telah mampu menghindari secara preventif kemungkinan-kemungkinan faktor yang dapat membawanya ke dalam kesulitan.
- Peserta didik (klien) telah menunjukkan sifat-sifat yang kreatif dan konstruktif, produktif, dan kontributif secara akomodatif sehingga ia diterima dan mampu menjadi anggota kelompok yang efektif.
Penanganan Siswa Bermasalah di Sekolah
Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang yang bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku. yang merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan konseling.
Penanganan siswa bernasalah melalui pendekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya. Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa beserta sanksinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku siswa. Kendati demikian, harus diingat sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku. Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan utamanya adalah bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang terjadi pada para siswanya.
Oleh karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan yaitu pendekatan melalui Bimbingan dan Konseling. Berbeda dengan pendekatan disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk menghasilkan efek jera, penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling justru lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada. Penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami dan menerima diri dan lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.
Secara visual, kedua pendekatan dalam menangani siswa bermasalah dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Dengan melihat gambar di atas, kita dapat memahami bahwa di antara kedua pendekatan penanganan siswa bermasalah tersebut, meski memiliki cara yang berbeda tetapi jika dilihat dari segi tujuannya pada dasarnya sama yaitu tercapainya penyesuaian diri atau perkembangan yang optimal pada siswa yang bermasalah. Oleh karena itu, kedua pendekatan tersebut seyogyanya dapat berjalan sinergis dan saling melengkapi.
Sebagai ilustrasi, misalkan di suatu sekolah ditemukan kasus seorang siswi yang hamil akibat pergaulan bebas, sementara tata tertib sekolah secara tegas menyatakan untuk kasus demikian, siswa yang bersangkutan harus dikeluarkan. Jika hanya mengandalkan pendekatan disiplin, mungkin tindakan yang akan diambil sekolah adalah berusaha memanggil orang tua/wali siswa yang bersangkutan dan ujung-ujungnya siswa dinyatakan dikembalikan kepada orang tua (istilah lain dari dikeluarkan). Jika tanpa intervensi Bimbingan dan Konseling, maka sangat mungkin siswa yang bersangkutan akan meninggalkan sekolah dengan dihinggapi masalah-masalah baru yang justru dapat semakin memperparah keadaan. Tetapi dengan intervensi Bimbingan dan Konseling di dalamnya, diharapkan siswa yang bersangkutan bisa tumbuh perasaan dan pemikiran positif atas masalah yang menimpa dirinya, misalnya secara sadar menerima resiko yang terjadi, keinginan untuk tidak berusaha menggugurkan kandungan yang dapat membahayakan dirinya maupun janin yang dikandungnya, keinginan untuk melanjutkan sekolah, serta hal-hal positif lainnya, meski ujung-ujungnya siswa yang bersangkutan tetap harus dikeluarkan dari sekolah.
Perlu digarisbawahi, dalam hal ini bukan berarti Guru BK/Konselor yang harus mendorong atau bahkan memaksa siswa untuk keluar dari sekolahnya. Persoalan mengeluarkan siswa merupakan wewenang kepala sekolah, dan tugas Guru BK/Konselor hanyalah membantu siswa agar dapat memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.
Lebih jauh, meski saat ini paradigma pelayanan Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan pelayanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, pelayanan Bimbingan dan Konseling terhadap siswa bermasalah tetap masih menjadi perhatian. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa tidak semua masalah siswa harus ditangani oleh guru BK (konselor). Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah berserta mekanisme dan petugas yang menanganinya, sebagaimana dalam bagan berikut :
- Masalah (kasus) ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali kelas dan guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru pembimbing) dan mengadakan kunjungan rumah.
- Masalah (kasus) sedang, seperti: gangguan emosional, berpacaran, dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan belajar, karena gangguan di keluarga, minum minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru BK (konselor), dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah, ahli/profesional, polisi, guru dan sebagainya. Dapat pula mengadakan konferensi kasus.
- Masalah (kasus) berat, seperti: gangguan emosional berat, kecanduan alkohol dan narkotika, pelaku kriminalitas, siswa hamil, percobaan bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat dilakukan referal (alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater, dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan kegiatan konferensi kasus.
Secara visual, penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Dengan melihat penjelasan di atas, tampak jelas bahwa penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru BK/konselor di sekolah tetapi dapat melibatkan pula berbagai pihak lain untuk bersama-sama membantu siswa agar memperoleh penyesuaian diri dan perkembangan pribadi secara optimal.
Konseling Pecandu Narkoba
Pemulihan pecandu narkoba pasca pengobatan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) dapat ditangani dengan Konseling Terpadu yang terdiri dari Konseling Individual, Konseling Agama, Konseling Keluarga, Konseling Kelompok, Pendidikan dan Pelatihan, Kunjungan, dan Partisipasi Sosial. Semua itu bertujuan agar klien terbebas dari dorongan kecanduan akibat mengkonsumsi narkoba. Pemulihan pecandu narkoba dengan menggunakan Konseling Terpadu itu memungkinkan hasil-hasil sebagai berikut. Tumbuh pada diri klien perasaan percaya diri, tidak menyalahkan pihak luar, mengambil tanggung jawab atas perbuatan sendiri dengan sadar atas resikonya, mendapat penghargaan dari lingkungan sehingga tumbuh motivasi untuk hidup baik, merasa sebagai anggota masyarakat yang beragama, dan akhirnya tumbuh sifat kepemimpinan terhadap diri, keluarga, dan masyarakat dengan moral-religius yang baik.
Metode Penanganan Kasus :Konseling Terpadu (KT) adalah upaya memberikan bantuan kepada klien kecanduan narkoba dengan menggunakan beragam pendekatan konseling dan memberdayakan klien terhadap lingkungan sosial agar klien segera menjadi anggota masyarakat yang normal, bermoral, dan dapat menghidupi diri dan keluarga. Syarat utama KT adalah klien telah selesai dengan program detoxification dari RSKO.
Dari penjelasan di atas ada dua hal penting yang harus mendapat penekanan untuk upaya recovery klien. Ragam pendekatan konseling yang diterapkan pada KT adalah sebagai berikut.
1 Konseling Individual (KI)Dari penjelasan di atas ada dua hal penting yang harus mendapat penekanan untuk upaya recovery klien. Ragam pendekatan konseling yang diterapkan pada KT adalah sebagai berikut.
Penerapan KI adalah upaya membantu klien oleh konselor secara individual dengan mengutamakan hubungan konseling antara konselor dengan klien yang bernuansa emosional, sehingga besar kepercayaan klien terhadap konselor. Pada gilirannya klien akan bicara jujur membuka rahasia batinnya (disclosure) yang selama ini tidak pernah dikemukakan kepada orang lain termasuk keluarga (Ivey & Downing, 1980). KI bertujuan menanamkan kepercayaan diri klien atas dasar kesadaran diri untuk: (1) tidak menyalahkan orang lain atas kecerobohan dan kesalahannya mengkonsumsi narkoba, (2) menumbuhkan kesadaran untuk mengambil tanggung jawab atas perbuatannya yang destruktif yang dilakukan selama ini dengan menerima segala akibatnya (seperti: keluar dari sekolah/kuliah, kehilangan pekerjaan, dijauhi orang-orang yang dicintai, dsb), (3) menerima realita hidup dengan jujur, (4) membuat rencana-rencana hidup secara rasional dan sistematik untuk keluar dari cengkraman setan narkoba dan menjadi manusia yang baik, dan (5) menumbuhkan keinginan dan kepercayaan diri untuk melaksanakan rencana hidup tersebut (Dyere & Vriend, 1977).
Jika seorang konselor menguasai pendidikan agama, akan lebih baik KI diiringi dengan ajaran-ajaran agama seperti penyerahan diri kepada Allah, menerima cobaan hidup dengan tawakal, taat ibadah, dan berbuat baik terhadap sesama. Jika konselor tidak menguasai soal agama, konselor harus memasukkan seorang ahli agama kedalam tim konselor.
Prosedur Konseling Individual adalah sebagai berikut: (a) konselor menciptakan hubungan konseling yang menumbuhkan kepercayaan klien terhadap konselor, sehingga klien menjadi jujur dan terbuka, bersedia mengatakan segala isi hati dan rahasia pribadi berkaitan dengan kecanduannya. Hal ini disebabkan oleh sikap empati, hangat, terbuka, memahami, dan asli (genuine) dari konselor, serta memiliki kemampuan-kemampuan teknik konseling yang baik (Sofyan S. Willis 1995), (b) konselor membantu klien agar dia mampu memahami diri dan masalahnya. Kemudian ia bersedia bersama konselor untuk menemukan jalan keluar atas kekacauan dirinya sehingga membuat keluarga klien menderita karena merasa malu, mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan memungkinkan sekolah adik-adiknya terganggu, (c) konselor membantu klien untuk memahami dan mentaati rencana atau program yang telah disusun konselor. Selanjutnya, klien siap untuk melaksanakan program tersebut.
2 Bimbingan Kelompok (BKL)Jika seorang konselor menguasai pendidikan agama, akan lebih baik KI diiringi dengan ajaran-ajaran agama seperti penyerahan diri kepada Allah, menerima cobaan hidup dengan tawakal, taat ibadah, dan berbuat baik terhadap sesama. Jika konselor tidak menguasai soal agama, konselor harus memasukkan seorang ahli agama kedalam tim konselor.
Prosedur Konseling Individual adalah sebagai berikut: (a) konselor menciptakan hubungan konseling yang menumbuhkan kepercayaan klien terhadap konselor, sehingga klien menjadi jujur dan terbuka, bersedia mengatakan segala isi hati dan rahasia pribadi berkaitan dengan kecanduannya. Hal ini disebabkan oleh sikap empati, hangat, terbuka, memahami, dan asli (genuine) dari konselor, serta memiliki kemampuan-kemampuan teknik konseling yang baik (Sofyan S. Willis 1995), (b) konselor membantu klien agar dia mampu memahami diri dan masalahnya. Kemudian ia bersedia bersama konselor untuk menemukan jalan keluar atas kekacauan dirinya sehingga membuat keluarga klien menderita karena merasa malu, mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan memungkinkan sekolah adik-adiknya terganggu, (c) konselor membantu klien untuk memahami dan mentaati rencana atau program yang telah disusun konselor. Selanjutnya, klien siap untuk melaksanakan program tersebut.
Bimbingan kelompok bertujuan memberi kesempatan klien untuk berpartisipasi dalam memberi ceramah dan diskusi dengan berbagai kelompok masyarakat seperti mahasiswa, sarjana, tokoh-tokoh masyarakat, guru-guru BK di sekolah, para siswa, anggota DPR, ibu-ibu pengajian, dan sebagainya. Melalui interpersonal relation, akan tumbuh kepercayaan diri klien (Yalom, 1985).
Prosedur BKL yang menjadikan klien sebagai figur sentral meliputi: (a) Mempersiapkan mental klien untuk berani tampil menyampaikan kisah kasusnya, dan selanjutnya berdiskusi dengan peserta. Jumlah peserta yang ideal paling banyak 10 orang; (b) Mempersiapkan materi yang akan disampaikan klien kepada peserta diskusi yaitu penjelasan tentang identitas diri dan kisah panjang tentang proses kecanduan sejak awal hingga saat ini beserta upaya-upaya penyembuhan yang telah dilaluinya; (c) Mempersiapkan peserta agar mempunyai minat untuk berdiskusi dengan klien pecandu narkoba, dan tidak segan-segan mengeritik dan memberi masukan; (d) Mempersiapkan daftar hadir peserta dan kamera photo.
Dengan berdiskusi dengan beragam kelompok, diharapkan klien akan makin meningkat kepercayaan diri untuk hidup normal dan juga tumbuh sikap kepemimpinan diri, keluarga, dan masyarakat, sehingga setelah melakukan konseling klien menjadi orang yang berguna. Pelajaran dari ceramah dan diskusi yang dilakukan klien secara terus menerus akan mendewasakan klien sehingga menjadi kuat kepribadian untuk menjadi anggota masyarakat.
3 Konseling Keluarga (KK)
Untuk membantu secepatnya pemulihan (recovery) klien narkoba, amat diperlukan dukungan keluarga seperti ayah, ibu, saudara, istri, suami, pacar, dan keluarga dekat lainnya. Fasilitator konseling keluarga adalah konselor, sedangkan pesertanya adalah klien, orang tua, saudara, suami/istri, dan sebagainya. Nuansa emosional yang akrab harus mampu diciptakan oleh konselor agar terjadi keterbukaan klien terhadap keluarga, sebaliknya anggota keluarga mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap pemulihan klien. Dampaknya adalah tumbuh rasa aman, percaya diri, dan rasa tanggung jawab klien terhadap diri dan keluarga.
Untuk mencapai keberhasilan KK maka prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:
Untuk mencapai keberhasilan KK maka prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:
- Menyiapkan mental klien narkoba untuk menghadapi anggota keluarga. Alasannya karena ada sebagian anggota keluarga yang jengkel, marah, dan bosan dengan kelakuan klien yang mereka anggap amat keterlaluan, merusak diri, mencemarkan nama keluarga, dan biaya keluar jadi besar untuk pemulihan. Mempersiapkan mental klien berarti dia harus berani menerima kritikan-kritikan anggota keluarga dan siap untuk berubah kepada kebaikan sesuai harapan keluarga.
- Memberi kesempatan kepada setiap anggota keluarga untuk menyampaikan perasaan terpendam, kritikan-kritikan, dan perasaan-perasaan negatif lainnya terhadap klien. Di samping itu, ada kesempatan untuk memberi saran-saran, pesan, keinginan-keinginan terhadap klien agar dia berubah. Semuanya bertujuan untuk menurunkan stres keluarga sebagai akibat kelakuan klien sebagai anggota keluarga yang dicintai (Horne & Ohlsen, 1982).
- Selanjutnya, konselor memberi kesempatan kepada klien untuk menyampaikan isi hatinya berupa kata-kata pengakuan jujur atas kesalahan-kesalahannya, serta penyesalan terhadap masa lalu. Kemudian, klien mengemukakan harapan hidup masa depan dan diberi kesempatan untuk berbuat baik terhadap diri, keluarga, dan masyarakat.
- Selanjutnya, konselor mengemukakan kepada keluarga tentang program pemulihan klien secara keseluruhan. Maksudnya supaya keluarga klien menaruh kepercayaan terhadap semua upaya konselor bersama klien. Selanjutnya, keluarga akan mendorong penyembuhan klien dengan tulus dan kasih sayang,.
- Konselor meminta tanggapan keluarga tentang program tersebut. Di samping itu, diminta juga tanggapan mereka terhadap keadaan klien saat ini. Demikian juga, tanggapan klien terhadap program yang telah disusun konselor, dan juga tanggapan terhadap keluarganya. Tanggapan-tanggapan dari kedua pihak terhadap program yang disusun konselor amat penting supaya semua pihak terutama klien sungguh-sungguh didalam menjalani program pemulihan dirinya.
Secara berturut-turut telah dikemukakan program konseling yang memadukan kegiatan konseling individual, bimbingan kelompok, dan konseling keluarga. Masih dalam konteks bimbingan dan konseling, diberikan pula program pendidikan dan pelatihan, serta program partisipasi terhadap kegiatan-kegiatan di masyarakat.
Sumber : http://depdiknas.go.id, Editorial Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi 36.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar