MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN
MELALUI
“PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL”
Oleh : Eni Suryanita, M. Pd.
Guru merupakan personil sekolah yang memiliki kesempatan bertatap muka lebih banyak dengan siswa. Dengan demikian, dalam lingkup kelas guru mempunyai peran yang strategis untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Peran dan tanggung jawab guru sesuai dengan kebijakan otonomi sekolah antara lain adalah menguasai dan mengembangkan materi pembelajaran, merencanakan dan mempersiapkan pembelajaran, serta mengontrol dan mengevaluasi kegiatan siswa.
Berdasarkan pengamatan, sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan, bahwa pengetahuan sebagi perangkat fakta-fakta yang harus dihapal. Kelas masih terfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan,ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar. Sering dijumpai guru terbiasa melaksanakan kegiatan pembelajarannnya dengan metode konvensional dimana siswa kurang dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. Siswa cenderung pasif dan hanya sebagai pendengar ceramah guru tanpa diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Proses belajar mengajar terkesan kaku, kurang fleksibel dan guru cenderung kurang demokratis. Siswa ibarat kertas putih bersih yang siap diisi dengan ilmu pengetahuan. Pencapaian dan keberhasilan pendidikan berdasarkan hasil akhir pembelajaran dengan mengabaikan proses. Adanya kenyataan seperti di atas, maka diperlukan suatu inovasi strategi belajar yang diharapkan lebih efektif dan efisien.
Kemampuan guru dalam menciptakan pembelajaran yang berkualitas sangat menentukan keberhasilan pendidikan secara keseluruhan. Kualitas pembelajaran sangat bergantung pada kemampuan guru, terutama dalam memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik secara efektif dan efisien. Tujuan pembelajaran adalah membantu pada siswa agar memperoleh berbagai pengalaman dan dengan pengalaman itu tingkah laku siswa bertambah, baik kuantitas maupun kualitasnya. Tingkah laku yang dimaksud meliputi pengetahuan, keterampilan, dan nilai atau norma yang berfungsi sebagai pengendali sikap dan perilaku siswa.
Melalui strategi pembelajarannya guru dituntut agar dapat menjadikan siswa mampu menghubungkan isi materi pelajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan memotivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan tersebut dengan aplikasinya dalam kehidupan nyata. Salah satu strategi pembelajaran yang merupakan perangkat pembelajaran berasosiasi dengan KTSP adalah strategi pembelajaran berbasis CTL (Contextual Teaching and Learning).
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) yang sering disingkat dengan CTL merupakan salah satu model pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam konteks tersebut, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mancapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Pendekatan kontekstual merupakan pendekatan yang memungkinkan siswa untuk menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik dalam berbagai macam tatanan kehidupan, baik di sekolah maupun di luar sekolah (Nurhadi, 2002: 4).
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: kontruktivisme (Contrucivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment) (Depdiknas, 2003: 3).
Ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual di kelas. Ketujuh komponen utama itu adalah sebagai berikut ini.
a. Konstruktivisme (constructivism)
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dalam hal ini anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
b. Menemukan (inquiry)
Komponen kedua dalam CTL adalah inkuiri. Artinya, proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya. Adapun langkahlangkah kegiatan inquiry yaitu: (1) merumuskan masalah; (2) mengumpulkan data melalui observasi; (3) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, bagan, tabel dan karya lainnya; dan (4) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, atau audiens yang lain.
c. Bertanya (questioning)
Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dan keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Dalam pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Karena itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.
d. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain. Kerjasama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, antar teman, antar kelompok; yang sudah tahu memberi tahu pada yang belum tahu, yang pernah memiliki pengalaman membagi pengalamannya pada orang lain.
e. Pemodelan (modeling)
Pemodelan pada dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan para siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Guru memberi model tentang “bagaimana cara belajar” . Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa atau juga dapat didatangkan dari luar.
f. Refleksi (reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan dimasa yang lalu. Dalam pembelajaran kontekstual, guru perlu melaksanakan refleksi pada akhir program pengajaran. Adapun realisasinya didalam kelas dapat berupa: (1). pertanyaan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya pada hari itu; (2). catatan atau jurmal di buku siswa; (3). kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu; (4). diskusi; (5). hasil karya; (6). cara-cara lain yang ditempuh guru untuk mengarahkan siswa kepada pemahaman mereka tentang materi yang dipelajari.
g. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assesment)
Authentic assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran yang benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru segera bisa melakukan tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Adapun prinsip yang dipakai dalam penilaian autentik yaitu: (a) harus mengukur semua aspek pembelajaran (proses, kinerja, dan produk); (b) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung; (c) menggunakan berbagai cara dan sumber; (d) tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian; (e) tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan kehidupan siswa yang nyata setiap hari; serta (f) penilaian harus menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian siswa, bukan keluasannya (Nurhadi, 2003).
Menurut Nurhadi (2002: 20) ada beberapa karakter pembelajaran berbasis kontekstual, yaitu:
a. adanya kerjasama, sharing dengan teman dan saling menunjang;
b. siswa aktif dan kritis, belajar dengan bergairah, menyenangkan dan tidak membosankan, serta guru kreatif;
c. pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber;
d. dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa; dan
e. laporan kepada orang tua bukan sekedar rapor tetapi hasil karya siswa, laporan praktikum, dan karangan siswa.
Dalam pembelajaran kontekstual tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar. Lingkungan belajar yang kondusif sangat penting dan sangat menunjang pembelajaran kontekstual, dan keberhasilan pembelajaran secara keseluruhan (Mulyasa, 2005: 102-104). Agar pelaksanaan pembelajaran kontekstual lebih efektif, maka guru perlu melaksanakan hal-hal sebagai berikut.
a. Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental siswa.
b. Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung.
c. Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri.
d. Mempertimbangkan keragaman siswa.
e. Memperhatikan multi-intelegensia siswa.
f. Menggunakan teknik-teknik bertanya yang meningkatkan pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah, dan keteampilan berpikir tinggi.
g. Menerapkan penilaian autentik yang akan mengevaluasi pengetahuan dan berpikir kompleks seorang siswa, daripada hanya sekedar hafalan informasi faktual (Nurhadi, 2003: 20-21).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar