
Menyibak G 30 S
Catatan Must Prast
editor Jawa Pos
Suatu kali saya menyunting sebuah berita yang
berkenaan dengan sejarah kelam bangsa ini: kudeta Gerakan 30 September 1965.
Sudah sekitar empat tahun silam saat mengedit berita itu.
Di dalamnya terdapat kata G 30 S/PKI. Saya
lantas memberikan catatan untuk sang redaktur. Isinya, saya menanyakan apa sang
redaktur sudah yakin dengan deretan kata tersebut. ”Apa tidak perlu ditinjau
ulang berdasar perkembangan sejarah tersebut?” tanya saya secara halus
kepadanya. Esoknya, istilah yang dipakai tidak berubah, tetap G 30 S/PKI.
Peristiwa ini ibarat sebuah mozaik yang nyaris
belum terkuak hingga kini. Ketika Orde Baru masih berkuasa, sejarah itu hanya
berdasar sumber sang penguasa. Salah satu propaganda yang digunakan adalah film
Pengkhianatan G 30 S/PKI yang digarap almarhum Arifin C. Noer. Film ini dibintangi antara lain oleh Amoroso Katamsi (sebagai Mayjen Soeharto), Umar Kayam (Bung Karno), dan lain-lain.
Pengkhianatan G 30 S/PKI yang digarap almarhum Arifin C. Noer. Film ini dibintangi antara lain oleh Amoroso Katamsi (sebagai Mayjen Soeharto), Umar Kayam (Bung Karno), dan lain-lain.
Begitu dahsyatnya propaganda ini, sehingga masyarakat
kala itu dicekoki kisah horor dengan aransemen musik yang bikin bulu roma
bergidik.
Kelak suatu ketika Arifin mengaku menyesal membuat
film tersebut. Alasannya, sebagai sutradara, ia dipaksa tunduk oleh sutradara
politik yang menjadi pengarah sesungguhnya.
Celakanya, ada banyak adegan yang justru
berkebalikan dengan kejadian sebenarnya (untuk tidak menyebut memutarbalikkan
fakta). Misalnya, tokoh Ketua CC PKI D.N. Aidit yang digambarkan doyan merokok.
Dari mulutnya tak pernah lepas kepulan asap rokok dengan bibir yang menghitam. Padahal,
Aidit bukan seorang perokok.
Yang paling miris adalah adegan penyiksaan
beberapa korban yang kemudian diangkat sebagai pahlawan revolusi. Tiga perwira
tinggi AD tewas ditembak saat hendak diculik. Yakni, Letjen A. Yani (Men/Pangad),
Mayjen M.T. Harjono (deputi III Men/Pangad), dan Brigjen D.I. Pandjaitan
(asisten logistik Men/Pangad). Sedangkan yang dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta
Timur ada empat orang. Yaitu, Mayjen Soewondo Parman (asisten intelijen Men/Pangad),
Mayjen Soeprapto (deputi operasi Men/Pangad), Brigjen Soetojo Siswomihardjo (inspektur
kehakiman/oditur jenderal), Lettu czi Pierre A. Tendean (ajudan Menko Hankam Jenderal A.H.
Nasution).
Adegan penyiksaan terhadap korban yang masih hidup
di Lubang Buaya itu digambarkan sangat brutal. Misalnya, mata korban yang disilet
dan tangan disundut rokok. Dalam koran Berita Yudha yang disokong ABRI, pada
masa itu diembuskan isu bahwa penis korban dipotong.
Akhirnya, fakta kemudian terkuak bahwa tidak
ada penis korban yang dipotong. Hal ini diperkuat oleh keterangan Prof Dr Arif
Budianto (dulu bernama Liem Tho Jay) kepada tabloid D&R pada 1999. Satu yang pasti, kata dia, di tubuh korban
dipastikan terdapat luka tembak. Tidak ada penis yang dipotong sebagaimana
digembor-gemborkan oleh media massa kala itu.
Yang tidak pernah diungkapkan dalam buku-buku pelajaran
sejarah adalah keterpautan Soeharto dan tokoh-tokoh pelaku. Misalnya, Letkol
Untung bin Sjamsuri dan Kolonel inf A. Latief, tokoh kunci dalam G 30 S.
Untung adalah penerima bintang sakti saat
berpangkat mayor. Penghargaan ini hanya diberikan kepada dua orang di Indonesia
atas keberanian luar biasa dalam mendukung Operasi Mandala di Irian Barat. Satu
lagi penerimanya adalah Mayor L.B. Moerdani atau akrab dipanggil Benny Moerdani.
Untung adalah anak buah Soeharto semasa
menjabat sebagai panglima Kodam Diponegoro di Jateng. Untung menjabat sebagai
komandan Yonif 454/Banteng Raider yang berpusat di Srondol, Semarang. Pasukan
ini tergolong salah satu unsur elite tempur andalan AD. Batalyon ini di
kemudian hari ikut terlibat dalam G 30 S.
Berdasar sumber Tempo, Untung memiliki
kedekatan dengan Soeharto. Saat Untung menikah di Kebumen, Jateng, Soeharto
datang dari Jakarta bersama Ny Tien ke resepsi tersebut (lihat Center for
Information Analysis, 1999 : 15). Bisa dibayangkan seberapa dekat keduanya,
mengingat transportasi dari Jakarta ke Kebumen belum semulus sekarang.
Latief juga demikian. Ia mengaku, sebelum G 30
S meletus, dirinya sempat melapor kepada Soeharto. Yakni, akan adanya gerakan
yang siap menumpas Dewan Jenderal). Latief bermaksud menengok anak bungsu
Soeharto, yakni Tommy, yang ketumpahan sop panas.
Namun, Soeharto berkilah dalam biografinya bahwa
memang benar Latief menemuinya pada malam 29 September 1965, namun ia
disebutkan berniat membunuh Soeharto.
Pada akhirnya, para pelaku yang disebutkan
terlibat dalam Dewan Revolusi seperti Letkol Untung, Brigjen Soepardjo, Mayor
udara Soejono akhirnya dihukum mati. Mereka meregang nyawa di hadapan regu
tembak. Pasca-G 30 S 1965 ini, terjadi pembantaian habis-habisan terhadap
simpatisan PKI.
Aidit sendiri akhirnya ditembak mati oleh
Kolonel Jasir Hadibroto dalam pelarian di Jateng. Padahal, kesaksian Aidit
sangat penting di pengadilan untuk menguak jejak G 30 S.
Namun, masih banyak hal yang menjadi misteri.
Misalnya, tokoh Sjam Kamaruzaman. Jabatannya adalah kepala polit biro PKI,
yakni badan intelijen rahasia PKI. Ia dijatuhi hukuman mati, namun tidak jelas kapan
dan di mana dia dieksekusi. Ada informasi yang beredar bahwa Sjam adalah agen
ganda. Yakni, ia menjadi informan bagi PKI sekaligus TNI-AD. Yang tak kalah misteriusnya adalah
hilangnya Lettu Doel Arief, komandan pasukan Pasopati yang bertugas menculik
para jenderal. Konon ia ”diamankan” oleh Ali Moertopo, penasihat intelijen
kepercayaan Soeharto.
Beredar banyak versi tentang G 30 S ini. Ada
versi yang menyebut bahwa PKI adalah pelakunya. Yang termasuk pendukung versi
ini adalah Buku Putih Pengkhianatan G 30 S/PKI terbitan Sekretariat Negara
(1994) dan The Communist Collapse in Indonesia (1969) karya Arnold Brackman.
Versi selanjutnya adalah gerakan itu hanya
persoalan internal AD. Sumbernya adalah The
30 September Movement karya Coen Holtsappel asal Belanda. Juga yang
terkenal adalah Cornel Paper (1971) karya
Ben Anderson dkk.
Versi lainnya menyebut G 30 S digerakkan oleh
CIA. Analisis ini dikemukakan dalam artikel Peter Dale Scott (US and The Overthrow of Soekarno 1965-1968,
terbitan 1985) dan Geoffrey Robinson (Complicity
in the Indonesia Coup of October 1, 1965)
Versi lain menyebutkan bahwa gerakan tersebut
adalah pertemuan kepentingan Inggris dan AS (disampaikan peneliti Greg Poulgrane);
didalangi Soekarno (analisis Antony Dake serta John Hughes); dan teori Chaos
(didukung oleh memoir Manai Shopiaan dan Oei Tjoe Tat.
Kendati banyak versi, ada hal penting yang
perlu diketahui. Yakni, hubungan antara Soeharto dan para korban G 30 S. Ketika
menjabat panglima Kodam Diponegoro pada akhir 1950-an, Soeharto pernah terlibat
kasus penyelundupan. Ini membuat petinggi AD seperti Nasution murka. Soeharto akan
dipecat. Kemudian dibentuk tim penyelidik yang terdiri atas Soeprapto, M.T.
Haryono, Soetojo, dan Parman. Semuanya akhirnya menjadi korban G 30 S. Sebuah
kebetulan?
Atas saran Gatot Soebroto, Soeharto akhirnya
disekolahkan di Seskoad Bandung. Nah, ada cerita saat Soeharto akan diangkat
sebagai ketua senat Seskoad, hal ini ditentang oleh D.I. Pandjaitan yang kala
itu juga menempuh pendidikan di Seskoad. Alasan Pandjaitan: Soeharto punya
mental kurang baik dan pernah melakukan tindakan kurang terpuji (terlibat kasus
smokel/penyelundupan).
Tentang Yani, Soeharto dikisahkan punya rasa
tidak senang. Pasalnya, Soeharto lebih senior dan lebih tua setahun, tetapi
justru Ahmad Yani yang jadi KSAD. Ben Anderson dalam Cornel Paper-nya yang terkenal pernah bilang bahwa “Selama Yani
masih ada, Soeharto tidak akan pernah naik…”
Soeharto sendiri akhirnya “diparkir” dengan
menjadi panglima Cadangan Umum AD (Caduad), yakni pasukan cadangan yang bisa
dibilang tempat para prajurit afkiran. Kelak Caduad diubah menjadi Kostrad
(Komando Strategis AD).
Kostrad seakan bertukar nasib dengan korps
Tjakrabirawa yang notabene diambil dari prajurit pilihan dan terbaik sebagai
pengawal presiden. Karena dianggap terlibat G 30 S, Tjakrabirawa akhirnya
dibekukan, sedangkan Kostrad naik. Bahkan, panglimanya, Mayjen Soeharto,
akhirnya berhasil menjadi presiden kedua RI. Salah satunya, melalui Surat
Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar) yang juga masih menjadi misteri sampa
kini. Banyak sumber, khususnya beberapa mantan ajudan Soekarno, yang mengatakan
bahwa sang presiden tidak pernah memberikan kekuasaan kepada Soeharto. Yang terjadi
saat itu adalah Soeharto diberi kewenangan untuk memulihkan keamanan.
Sejarah mencatat bahwa Soekarno akhirnya
dijadikan tahanan rumah. Sampai ia meninggal pada 1970. Soeharto sendiri
akhirnya ditetapkan sebagai presiden yang menjabat hingga 32 tahun lamanya.
Apakah ia terlibat dalam G 30 S? Dari sedikit
ulasan di atas, silakan Anda menyimpulkan sendiri.
Sidoarjo, 28 Sept 2012
Bacaan:
1. Gerakan 30 September: Antara Fakta dan Rekayasa Berdasarkan
Kesaksian Para Pelaku Sejarah (Center for Information Analysis, 1999)
2. Gerakan 30 September; Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (Julious
Pour, 2010)
3. Siapa Sebenarnya Soeharto (Eros Djarot dkk, Detak Files, 1999)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar