KEMANA PANCASILA SAKTI-KU ???
By: Eni Suryanita, M. Pd.
Di zaman Saya sekolah dulu,
hampir setiap sekolah memiliki lapangan untuk berolahraga dan dilengkapi
ruang-ruang seni untuk berkreasi ( walaupun tidak seindah sekolah sekarang )
apalagi yang sekolahnya di kampung. Dengan aneka kegiatan, kami mudah menemukan
identitas diri dan bakat kami tersalurkan, hampir tak ada kesempatan untuk lakukan
hal-hal negative termasuk tawuran. Saya mengikuti latihan PBB, Pramuka, PMR,
Tari, Karawitan ( seni daerah ), Paduan suara, ( Saya ingat waktu itu jadi
dirigen padahal tubuh Saya paling pendek dan termuda hmm..) jadi kangen masa
lalu.
Waktu SD Saya memiliki Guru dari
bermacam-macam daerah dan dengan agama, yang beragam. Ada yang dari Sulawesi,
Jogya, Maluku, Kalimantan bahkan ada yang dari Papua. Ada yang
beragama Islam
ada yang Kristen. Mereka semua rukun dan kami merasa senang serta nyaman dalam
bimbingan mereka. Karena tempat tinggal Saya di Jawa Barat ( tepatnya di
Sukabumi ) bahasa yang kami gunakan lebih dominan bahasa daerah ( Bahasa Sunda),
Guru-guru Saya belajar dan mampu berbahasa sunda. Sikap menghargai, toleransi,
kebersamaan dan rasa persatuan sangat kental dan jauh dari sikap ego pribadi.
Tapi kini ???….Etika, sopan
santun, sikap, dan perilaku berbudi luhur cenderung terlupakan. Para siswa pun
jadi kurang menghargai toleransi, kebersamaan dan rasa persatuan karena
terjebak pada sikap ego pribadi. Bahasa sunda yang digunakanpun bahasa binatang
”KASAR”. Apalagi, kita makin "nol" keteladanan. Beberapa televisi
lebih banyak menyajikan tayangan yang kurang mendidik. Lihat, acara Jakarta
Lawyer Club. Bagaimana orang-orang saling merendahkan, memaki, dan
gontok-gontokan yang dipertontonkan secara terbuka di hadapan pemirsa, termasuk
anak-anak.
Kiranya edukasi dasar sangat
penting dimulai sejak dini. Dari TK, anak-anak harus sudah diajari kemampuan
kognitif dan kreativitas seni secara seimbang. Ini agar terbentuk karakter
(character building) anak hingga memiliki identitas diri yang kuat. Sekaligus
untuk mengubah mental bangsa terjajah yang bermental kuli, pengecut, dan selalu
nebeng orang lain, menjadi lebih baik dan bermartabat. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar